Sunday, November 25, 2007

PRAJURIT PENJAGA PERBATASAN NEGARA MENCARI IKAN UNTUK MAKAN

menengok kegiatan prajurit di perbatasan negara (bagian-1)

PRAJURIT PENJAGA PERBATASAN NEGARA
DI PULAU MIANGAS MENCARI IKAN UNTUK MAKAN
oleh : Ferdi Rosman Feizal *)


Hampir setiap sore Kapten Udin memancing ikan di dermaga pulau Miangas. Terkadang kailnya menyangkut dibatu-batu karang dan nihil mendapatkan ikan untuk makan malamnya. Sore itu Kapten Udin ditemani bassnya setelah hujan lebat mengguyur pulau miangas dari pagi, tukang-tukangnya terpaksa diliburkan.

Kapten Udin dari jawa barat bukan prajurit penjaga perbatasan Negara walaupun berada di pulau miangas melainkan prajurit dari Zeni Bangunan. Kedatangannya ke Pulau Miangas bersama pemborongnya (bass) adalah untuk membangun perumahan TNI-AD di pulau Miangas setelah POS TNI-AD di Pulau Miangas resmi menjadi Koramil saat Kodam VII/Wirabuana dijabat oleh Mayjen TNI Arief Budi Sampurno yang sekarang sudah pensiun.

Kegiatan memancing ikan di dermaga miangas yang jarang disandari kapal ini memang rutin dilakukan oleh prajurit-prajurit TNI-AD untuk tambahan lauk sekaligus mengusir kesepian dan kesunyian di pulau yang kecil dan terpencil dipaling utara sulawesi utara yang jarang diketahui warga Negara Indonesia lainnya karena memang pulau miangas tidak ada kalau dicari di peta dan sulit mendapatkan peta pulau miangas kalau bukan dari bakorsurtanal. Malam harinya terkadang mereka sibuk mencari ketam kenari yang tersebar direrimbunan hutan kelapa disepanjang pantai tak jauh dari POS-AD Miangas setelah siangnya menyimpan umpan dari kelapa yang sudah diparut.


Main Kartu

Kegiatan anggota TNI-AD di perbatasan Negara yang masih berpotensi dicaplok Negara tetangga ini memang tidak hanya memancing ikan saja. Main kartu remi dengan hukuman berdiri bagi yang kalah mengasyikan juga rupanya. Tidak membedakan pangkat kalau sudah begini, buktinya Lettu Hamlin Danramilnya sendiri terpaksa harus terus berdiri sepanjang permainan dijegal Sersan David Mangisong yang sangat berterimakasih kepada petinggi TNI-AD di Kodim Tahuna, Korem 131/Santiago dan Kodam VII/WIrabuana karena ditempatkan di Pulau Miangas ditempat kelahirannya sehingga bisa berkumpul kembali dengan Bang Joss dan Sus Vina yang sudah lama ditinggal bertugas di Koramil Rainis di Pulau Karakelang.


Patroli Pulau

Sersan Nicolas memang rajin, setelah berpatroli keliling pulau menggunakan sepeda kiriman Pangdam VII/Wirabuana untuk melihat situasi dan keamanan di Pulau yang berbatasan dengan Philipina ini, langsung membelah kayu bakar untuk memasak disebelah Pos TNI-AD. Entah karena memang rajin atau karena tidak ada lagi tali pancing lagi yang membuat dirinya menyibukkan diri. Yang jelas kalau mau bergabung untuk ikut main kartu, mejanya terlalu kecil dan orangnya sudah terlalu banyak.






Belah Kayu Bakar

Kayu-kayu bakar dibelah dan dikeringkan dipinggir tembok Pos TNI-AD tempatnya menginap bersama kawan-kawan prajurit TNI-AD lainnya yang ditugaskan selama satu bulan di pulau Miangas yang terpencil jauh dari kepulauan Indonesia lainnya.

Saat kedatangan kami ke Pulau Miangas untuk memperbaiki gangguan fasilitas telekomunika-si Pulau Perbatasan Negara yang ditempatkan di Koramil Miangas, tugasnya di Miangas tinggal 2 minggu lagi atau tergantung kedatangan Kapal Perintis itupun kalau ada Prajurit TNI-AD yang turun untuk menggantikannya berdinas di Pos Perbatasan Negara.

Kedatangan Kapten Udin dan regunya Sersan Nicolas ke Pulau Miangas diawal Januari 2006 yang lalu cukup berat, karena masa tugasnya di perbatasan negara ini bertambah lama, bertambah 2 minggu karena belum juga ada Kapal yang datang ke Pulau Miangas. Informasi yang diperoleh dari Kantor Pelni melalui panggilan telepon PBX yang dikembangkan dari wartel VSAT ini membuat kaget prajurit-prajurit penjaga perbatasan negara termasuk rombongan Serikat Karyawan (Sekar) Telkom dan Korem 131/Santiago yang berada di Miangas karena belum ada jadwal Kapal yang menuju Miangas. Kapal Penumpang milik Pelni KM.Sangiang masih dok di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, sementara Kapal perintis KM.Berkat Taloda dan KM.Darakinusa masih mengikuti tender pelayaran di Pelabuhan Bitung.


Gotong-royong dengan masyarakat

Sepinya pulau kecil mungkin menambah kejenuhan jika tidak ada kegiatan lain selain rutinitas berjaga di Pos dan Patroli keliling Kampung. Saat itu beruntung masyarakat miangas banyak mengadakan kegiatan. Mulai Desember hingga Februari pulau yang biasanya sepi ini mendadak ramai dengan banyaknya kegiatan.

Mulai dari persiapan Natal, kegiatan natal, persiapan upacara menangkap ikan secara tradisonal ‘Manam’mi’ yang diturup dengan Ilarung yang merupakan pesta tutup tahun yang menandakan selesainya seluruh kegiatan dan pulau Miangas kembali sepi, sunyi bak pulau yang tak berpenghuni.

Di Pantai Utara pulau Miangas yang bisa melihat daratan Philipina, Prajurit-prajurit penjaga perbatasan negara dari TNI-AD, TNI-AL dan Kepolisian termasuk Sekar Telkom yang berada disana bersama-sama masyarakat Miangas bergotong-royong memasang batu-batu untuk menjebak ikan untuk upacara adat menangkap ikan secara tradisional ‘Manam’mi’ yang akan dilakukan pada bulan April 2006 yang akan datang. Semua laki-laki dewasa yang saat itu berada di pulau Miangas saat itu diwajibkan untuk turut bergotong-royong memasang batu-batu tersebut.





Membersihkan Senjata

Membersihkan senjata merupakan kegiatan yang harus dilakukan agar senjata-senjata nya tidak macet saat diperlukan. Tidak hanya pada saat baris saja melihat tentara rapi, pembersihan senjata yang dilakukan secara bersama-samapun terlihat rapi juga.

Perbatasan negara di Pulau Miangas tidak lagi dijaga prajurit yang secara bergilir ditugaskan ke tapal batas. Sejak perumahan Dinas TNI-AD selesai dibangun persis dibelakang Koramil Miangas, Pulau Miangas kini dijaga oleh anggota TNI-AD yang ditempatkan disana yang sebagian besar asli masyarakat Miangas.

Agustus 2006, perumahan untuk Polisi masih dibangun dan akan ditempati oleh anggota-anggota kepolisian yang akan ditempatkan disana sementara Pos TNI-AL baru dibongkar untuk renovasi. Anggota TNI-AL masih menempati POS lamanya sedangkan Marinirnya masih tinggal di tenda Komando.

Bagi prajurit, persoalan tunjangan didaerah-daerah terpencil yang sepi dan jauh serta sulitnya transportasi menjadi pembicaraan yang sering diungkapkan, namun mereka tidak berani langsung mengajukan kepada komandannya apalagi kepada Panglima TNI atau Kapolri, prajurit memang sangat patuh.

Kepatuhannya diperlihatkan dengan sikap dan tindakannya. Siap Komandan..! dan langsung meluncur, berangkat ke tapal batas tanpa bertanya sedikitpun. Walaupun kenyataannya mereka sering mengalami kelaparan seperti yang dialami oleh prajurit-prajurit di Pulau Miangas akibat kehabisan perbekalan, karena kapal yang ditunggu untuk menggantikannya bertugas tak kunjung datang entah karena dok, proses tender trayek kapal atau karena musim badai.

Semoga Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tetap utuh dengan kehadiran prajurit-prajurit ditapal batas negara yang berani berkorban untuk membela Negaranya, untuk menjaga Negaranya. Prajurit yang tetap setia dan mencintai Indonesia, setia sampai akhir....

*) Ferdi Rosman Feizal, Pengurus DPP SEKAR Telkom, 5 kali ke pulau Miangas sejak oktober 2005-Agustus 2006 bersama jajaran Kodam VII/Wirabuana dan Korem 131/Santiago, menginap di POS-AD Miangas.

Thursday, November 22, 2007

RAMPOKLAH UANG RAKYAT INDONESIA










menengok liberalisasi sektor telekomunikasi di Indonesia

RAMPOKLAH UANG RAKYAT INDONESIA
oleh : Ferdi Rosman Feizal



Merah Putih dalam jiwanya tak pernah luntur sedikitpun, dalam dadanya berkobar semangat yang suci menegakkan NKRI.

Rasa cintanya kepada Indonesia tidak bisa ditawar lagi sampai-sampai Sang Merah Putih dibawanya pula ke Puncak Gunung Merapi untuk disandingkan dengan Garuda lambang Negara Indonesia.


Di Puncak Garuda, Sang Merah Putih dibentangkan didampingi Pataka Sekar Telkom yang setia mengawal sampai akhir membela Tanah Air tercinta, Indonesia.

Kobaran semangat perjuangan penolakan pemberlakuan Kode Akses SLJJ diwujudkan dengan pendakian ke puncak gunung merapi di penghujung Juli 2007 untuk menaklukkan luapan emosi dan menata hati. Jalanan terjal dan mendaki ditengah kegelapan malam ditempuhnya tanpa mengenal putus asa. Rasa letih tak menghalangi tekadnya. Tolak Kode Akses SLJJ sampai Puncak Garuda sekalipun.

Di kegelapan malam, Sekjen DPP Sekar Amir Fauzi dan Sekretaris-I DPP Sekar Nanang Setiyo Utomo serta Aktifis Sekar UNER-IV Edy Suryanto sempat tersesat, masuk jalan kecil, jalan pencari kayu dan terjebak diantara bebatuan yang terjal dan curam dengan jurang yang menganga dibawahnya.

Seberkas sinar muncul dikegelapan tanda fajar telah datang memberi petunjuk. Maha Suci Engkau Ya Allah...Ya Tuhan kami yang telah menyelamatkan kami dikegelapan, menuntun kami menggapai tekad dan cita-cita mengibarkan Sang Merah Putih di Puncak Garuda.

Kepasrahan total kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segalanya yang telah menyelamatkan perjalanan ini.


Liberalisasi kebabablasan

Kobaran semangat penolakan pola kompetisi sektor telekomunikasi dengan skema Kode Akses SLJJ oleh Sekar Telkom diwujudkan dengan pendakian Puncak Garuda sebagai simbol dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan mengambil simbol Garuda di Puncak Merapi sebagai lambang tertinggi Negara, Sekar Telkom akan terus berjuang menolak pemberlakuan Kode Akses SLJJ tidak hanya sampai di BRTI atau Menkominfo saja, DPR-RI dan Presiden SBY sebagai Puncak tertinggi Kekuasaan Negara akan didatangi Sekar Telkom sebagai wujud pengibaran Sang Merah Putih di Puncak Garuda.

Sekar Telkom menilai bahwa pembelakuan Kode Akses SLJJ ini akan berpotensi merugikan negara dengan berkurangnya deviden dan setoran pajak perusahaan disamping larinya devisa ke negara asing. Selain tidak fair, karena Indosat yang diberikan lisensi penyelenggara SLJJ hanya memiliki jumlah pelanggan jaringan telepon tetap (kabel) yang sedikit (500 ribu SST) dibandingkan Telkom yang sudah memiliki 8,5 juta SST, skema Kode Akses SLJJ ini diprediksikan tidak akan mempercepat peningkatan teledensitas sebagai tujuan utama kompetisi melainkan hanya merebut pangsa pasar SLJJ yang masih menggiurkan.

Dengan dalih globalisasi, liberalisasi, Telkom akan dikorbankan oleh oknum anggota BRTI yang bersembunyi dibalik Keputusan Menteri yang justru konsepnya dibuat dan diajukan sendiri, ditodongkan kepada Menterinya untuk ditandatangani padahal beberapa menit kemudian Menterinya lengser.

Dengan dalih iklim investasi, Telkom akan dikorbankan oleh oknum BRTI dengan memberikan peluang mengambil pangsa pasar telekomunikasi domestik (SLJJ) yang secara kasar merampok Telkom yang menjadi kebanggaan anak-anak bangsa ini, merampok Telkom yang dimiliki putra-putra bangsa.

Sejatinya Liberalisasi merupakan pasar bebas dunia dimana setiap negara diperbolehkan membuka usahanya diseluruh dunia sesuai yang diperjanjikan oleh Organisasi Perdagangan Dunia / World Trade Organization (WTO). Artinya jika Indonesia telah siap bersaing di pasar bebas maka lakukanlah globalisasi dengan menjual barang atau jasanya di negara-negara lain dan dengan lapang hati mempersilakan negara lain membuka usahanya di Indonesia.

Ketika investasi di bidang infrastruktur telekomunikasi masih dibutuhkan untuk meningkatkan teledensitas yang masih rendah (3,5%) jauh tertinggal dibanding negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), artinya Indonesia belum siap membuka pasar bebas di dalam negeri. Indonesia masih membutuhkan peningkatan teledensitas, rakyat di perkotaan masih membutuhkan telepon kabel apalagi di pedesaan, di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan yang sudah 62 tahun merdeka masih belum merasakan sarana telekomunikasi di daerahnya.


USA : teledensitas > 50%

Berbeda dengan Amerika Serikat, liberalisasi sektor telekomunikasi baru dibuka ketika teledensitas sudah diatas 50 % (2004=116%) yang membuat tarif semakin kompetitif dan meningkatnya traffik domestik. Namun Raksasa Telekomunikasi Amerika Serikat AT&T ini tak tahan dan langsung tumbang hanya dalam kurun waktu 8 bulan saja dimana traffik domestik turun hingga 63%, 8 tahun kemudian traffik domestik berpindah menjadi 90% ke pihak kompetitor. AT&T hanya menyisakan 10% traffik domestik dari total pelanggannya.


Angkatan Muda PTT seperti Bung M.Yanie tidak akan rela jika Telkom yang dulu dibela, diperjuangkan harus mati karena regulasi.

Bung M.Yanie yang masih memiliki semangat juang yang tinggi mungkin hanya bisa pasrah saja kalau Telkom mati karena memang Telkom tidak bisa berkompetisi, karena mungkin generasi penerusnya tidak memiliki semangat juang membela Telkom yang sangat dicintainya. Tapi jangan biarkan Telkom mati karena regulasi, karena kepentingan pihak-pihak tertentu yang tidak memahami posisi strategis Industri Telekomunikasi pada suatu negara. Jangan sampai Telekomunikasi Indonesia dikuasai pihak asing pesannya.

Jika telekomunikasi sudah dikuasai pihak asing, mungkin Indonesia masih dijajah, demikian kilahnya seusai menghadiri upacara hari bhakti Postel ke-62 di Gedung PTT di Jl. Cilaki Bandung pada 27 September 2007 yang lalu.


Siapkan Liberalisasi

Menjelang masuk ke Dunia Global atau Liberalisasi, pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika mulai mempersiapkan perusahaan-perusahaan telekomunikasi Indonesia yang dimiliki Pemerintah atau dimiliki putra-putra Bangsa Indonesia untuk bersaing di pasar global dengan membuka cabang-cabangnya di Singapura, Malaysia, Korea atau Vietnam sesuai yang diperjanjikan dengan WTO.

Jika Indonesia belum siap masuk ke Pasar Global, jangan sekali-sekali membuat janji bahkan mengobral janji dengan WTO. Akibatnya bakalan fatal, perusahaan-perusahaan telekomunikasi di Kawasan Regional (Asia Tenggara) akan menagih janji kepada WTO dan akan masuk ke Pasar telekomunikasi Indonesia, mengeruk bahkan merampok harta kekayaan Rakyat Indonesia seperti yang terjadi sekarang ini.

Dengan dalih tarif murah, pulsa murah uang rakyat Indonesia akan beterbangan lari ke pihak asing, tidak hanya uang rakyat di perkotaan saja yang akan meluncur mulus dirampok pihak asing, uang rakyat di Pedesaan dikuras habis, uang jajan anak-anak SLTP, SMU, SMK, Mahasiswa yang senang dengan tarif murah, sms murah bahkan gratis dengan mulus diserahkan ke pihak-pihak asing.


Investasi tidak harus pihak asing

Investasi pada pembangunan infrastruktur telekomunikasi tidak harus melibatkan pihak asing apalagi sampai mendominasi kepemilikannya yang berbuntut pada operasional pengelolaan perusahaan yang menjadikan warga negara Indonesia yang menjadi pimpinan tertinggi perusahaan telekomunikasi yang dominan dikuasai pihak menjadi ‘boneka’, hanya ditempatkan sebagai simbol saja. seperti Temasek yang menempatkan seorang Jendral Aktifnya sebagai Wakil Direktur Utamanya (Ng Eng Ho), bisa-bisa rahasia negara Indonesia diintip karena kecanggihan peralatan teknologi telekomunikasi yang dimilikinya.

Masih banyak pengusaha nasional yang berminat termasuk pengusaha daerah, pemda dan koperasi. Amanah undang-undang telekomunikasi No.36/1999 yang melibatkan Pengusaha Nasional, Daerah dan Koperasi dalam Industri telekomunikasi justru tidak dijalankan, malahan proyek Universal Service Obligation (USO) terus gencar dikejar dengan tender-tendernya, uang milyaran rupiah dari perolehan 1,25 % pendapatan kotor setiap operator telekomunikasi terlihat sangat menggiurkan. Sementara proyek USO tahap-II dianggap gagal.

Kegagalan proyek USO tahap-II dan tidak berkembangnya proyek USO tahap-I seyogyanya menjadi pelajaran berharga bagi Ditjen Postel. Keledai saja tidak pernah terperosok ke lobang sama, begitu kata guru bahasa Indonesia di SMP.


Mulai dari etalase Indonesia

Berangkat dari rendahnya teledensitas di Indonesia yang terus menurun dari 4,8% pada tahun 2005 menjadi 3,5% pada tahun 2007 akibat stagnannya pembangunan infrastruktur telekomunikasi dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk dan kegagalan proyek USO setiap tahap seyogyanya menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam membuat skala prioritas untuk percepatan peningkatan teledensitas di Indonesia dengan tidak memaksakan pemberlakuan kode akses SLJJ dan pemaksaan proyek USO yang selalu gagal.

Sangatlah Bijaksana jika Menkominfo mencabut kembali Keputusan tentang pemberlakuan Kode Akses SLJJ dan lebih memperhatikan teledensitas, lebih memperhatikan Rakyat Indonesia khususnya di Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan yang sampai saat ini menunggu kehadiran sarana telekomunikasi di daerahnya.

Namun jika memang tetap harus diberlakukan, mulailah Kode Akses diberlakukan di 14 Pulau terluar seperti Pulau Miangas, Pulau Marore, Pulau Merampit, Pulau Dana, Pulau Nipah, Pulau Rondo yang akan meningkatkan teledensitas, meningkatkan ekonomi pedesaan, memperkecil kesenjangan digital dan menjadikan desa-desa digital serta menjadikan pulau-pulau terluar menjadi Beranda Indonesia seperti keinginan Presiden SBY. Pulau-pulau perbatasan negara bukan pulau terluar melainkan pulau terdepan, etalase Indonesia dimana semua potensi dan keanekaragaman Indonesia diperlihatkan disana, semoga. (ferdi rosman feizal / d-04)



Referensi :
- Police Numbering dan Routing Plan EU, Brussel 20 November 1996
- UU No.36/1999
- Keputusan Menteri Perhubungan No.28 / Tahun 2004,tentang Peubahan FTP

Wednesday, October 31, 2007

Tuesday, October 30, 2007

Liberalisasi salah kaprah

dibalik kompetisi dengan Kode Akses SLJJ

LIBERALISASI SALAH KAPRAH
Oleh : Ferdi Rosman Feizal

Liberalisasi sektor telekomunikasi yang akan diberlakukan di Indonesia pada jaringan telepon tetap jarak jauh dengan istilah Kode Akses SLJJ yang aslinya mengambil dari istilah ITU yaitu carrier selection yang merupakan salah satu syarat organisasi perdagangan dunia (WTO) dalam membuka globalisasi / liberalisme ekonomi di Indonesia.

Syarat WTO lainnya yang paling utama yang harus dipenuhi oleh Indonesia sebelum liberalisasi sektor telekomunikasi dengan Kode Akses SLJJ diberlakukan adalah meng-KSO-kan PT.TELKOM Indonesia dengan kedok percepatan teledensitas...

Semua tercantum sangat jelas dalam buku WTO yang sempat dibaca SEKAR Telkom sementara dalam buku lainnya yang berjudul ‘kajian investasi dan platform kompetisi penyelenggaraan telekomunikasi’ yang berhasil ’dicuri’ Sekar Telkom, rencana liberalisasi sektor telekomunikasi yang menurut istilah SEKAR Telkom adalah ‘strategi penghancuran PT.TELKOM Indonesia’ dilakukan secara bertahap, PT.TELKOM Indonesia harus dipecah dengan pola KSO. Setelah KSO berjalan beberapa tahun, sebagian perusahaan Divisi Regional (Divre) yang sudah KSO tersebut diperintahkan untuk dijual kepada perusahaan pesaingnya (indosat) yang selanjutnya akan dipecah per-kandatel yang akan dijual kepada pihak investor.

Dalam buku WTO yang sempat dibaca Sekar Telkom tersebut dijelaskan, setelah berhasil memecah WITEL-WITEL dan berdiri kandatel-kandatel yang sudah dijual kepada pihak swasta dan asing sebagai investor nantinya kandatel-kandatel akan diubah statusnya menjadi operator jaringan tetap lokal, sementara Telkom hanya bertengger pada satu bisnis saja yaitu Jaringan Tetap Jarak Jauh, maka diakhirilah era monopoli ditandai dengan diterminasinya hak monopoli penyelenggaraan SLI oleh Indosat, dan dimulailah era liberalisasi sektor telekomunikasi baik untuk jaringan tetap lokal maupun jaringan tetap jarak jauh (SLJJ).


TELKOM tetap Utuh

Berkat perjuangan SEKAR Telkom yang jeli melihat adanya ‘sesuatu’ dibalik cross ownership DIVRE-IV dan tidak seriusnya pengelolaan KSO di DIVRE-III akhirnya PT.TELKOM Indonesia bisa tetap utuh.

Kini TELKOM tidak dipecah berdasarkan WITEL-WITEL dan Kandatel-kandatel sesuai rencana busuk WTO melainkan tetap utuh, proses buy back KSO-KSO dilakukan satu demi satu demi menjaga kesatuan, keutuhan PT.TELKOM Indonesia.



Liberalisasi salah kaprah

Keutuhan PT.Telkom dengan tidak jadinya Kandatel-kandatel dijual ke pihak investor asing dan menjadi operator jaringan tetap lokal berdasarkan ‘strategi penghancuran PT.TELKOM Indonesia’ tersebut seharusnya diikuti kebijakan pemerintah dengan membuka lisensi operator-operator jaringan tetap lokal di tingkat kota atau sekelas kandatel dengan investor lokal termasuk koperasi seperti yang diamanahkan undang-undang telekomunikasi ( UU No. 36/1999).

Kenyataannya, pemerintah tetap ngotot memberlakukan kompetisi pada jaringan tetap jarak jauh dengan diberikannya kebebasan penuh kepada pelanggan untuk memilih jaringan tetap jarak jauh yang dikehendakinya seperti yang kita kenal sekarang dengan istilah Kode Akses SLJJ, selain arah dan tujuan liberalisasi dan persaingan menjadi salah kaprah (discontented liberalization). Arah kebijakan dan regulasi yang serba tak jelas ini dimanfaatkan pemain-pemain baru yang terus berebut masuk dengan tameng liberalisasi dan persaingan.

Tidak fair karena total pembangunan PT Indosat baru sekitar 500.000 pelanggan, termasuk pembangunan melalui mitra-mitra pola bagi hasilnya, yang tidak sebanding dengan 9 juta pelanggan PT Telkom. Hal yang harus disikapi hati-hati, jangan sampai tuntutan ini hanya menjadi dalih Indosat untuk tidak memenuhi kewajiban pembangunan 3,5 juta pelanggan sampai tahun 2008 seperti dicantumkan dalam modern licensing (asmiati rasyid, kompas, 3 Pebruari 2005).

Yang penting dipahami, pendekatan kebijakan kompetisi di negara kita berbeda dengan mereka yang infrastrukturnya telah mapan. Tidak semua tuntutan kompetisi yang digariskan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dapat sepenuhnya diterapkan, terutama pada masa transisi duopoli ke kompetisi.

Dalam masa transisi, di samping progressive license fee, pembedaan skema kode akses ini juga dapat dijadikan treatment khusus pemerintah dan regulator untuk mendorong peningkatan teledensitas. Khususnya terhadap Indosat yang diwajibkan membangun jaringan akses pelanggan dan jaringan back-bone mencakup seluruh wilayah Indonesia (nation-wide license), bukan hanya di kota- kota besar. Kebijakan-kebijakan spesifik ini bisa saja diterapkan sampai teledensitas mencapai 50 persen. (asmiati rasyid, kompas, 3 Pebruari 2005)
Kode Akses SLJJ tidak sesuai dengan prinsip Liberalisasi

Pola kompetisi dengan kode akses sljj sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip liberalisasi yang memberikan kemudahan akses, beragamnya fitur, kualitas yang baik, keadilan (Lin Che Wei, Shangri-la Hotel, 23 July 2002, seminar nasional ‘memasuki era kompetisi dalam segmen jasa komunikasi tetap lokal’) selama jaringan pelanggan masih menggunakan jaringan lokal akses tembaga PT.Telkom, yang ada hanyalah pelanggan mendapatkan pilihan sesuai dengan kehendak dengan harga yang terjangkau (murah) saja.

Akan berbeda jika kompetisi pada jaringan tetap menggunakan jaringan lokal akses tembaga yang berbeda dengan sistem switching yang juga berbeda serta pelayanan dan tarif yang berbeda pula. Disini pelanggan akan langsung merasakan manfaat sebuah kompetisi, mulai perbedaan pesawat telepon (Clip,sms, dll), kualitas jaringan hingga pelayanan dan tarif yang ditawarkan masing-masing operator.

Seperti kompetisi pada bisnis waralaba ayam goreng, pelanggan diberikan kebebasan penuh untuk memilih menjadi konsumen Kentucky Fried Chicken, Mc Donald atau California Fried Chicken misalnya. Berbeda jika pelanggan masuk ruangan waralaba Mc Donald tetapi disana disediakan pilihan ayam goreng Kentucky Fried Chicken yang jauh lebih murah, pasti konsumen akan memilih ayam goreng Kentucky yang jauh lebih murah yang berakibat fatal, ayam goreng Mc Donald yang menjadi tulang punggung bisnisnya tidak akan laku di Warungnya sendiri..!


Solusi Kompetisi Jaringan Tetap

‘Menu Kode Akses SLJJ’ atau Carrier Selection yang awalnya disain khusus untuk operator telekomunikasi dalam menentukan jaringan interkoneksi dengan kualitas yang baik dan harga yang murah dikembangkan hingga ke pesawat telepon pelanggan ini memungkinkan diterapkannya kompetisi semodel Kode Akses SLJJ yang membuat tumbangnya raksasa-raksasa telekomunikasi di Amerika Serikat, Australia, Finlandia dll yang kesemuanya adalah perusahaan telekomunikasi yang dimiliki pemerintah (incumbent).

SEKAR Telkom, menawarkan solusi kompetisi pada jaringan tetap dengan membuka lisensi operator-operator jaringan tetap Lokal dan jaringan tetap jarak jauh atau satu paket Jaringan Tetap Lokal dan jarak jauh dengan harapan tujuan utama kompetisi yakni percepatan teledensitas di Indonesia bisa terwujud dan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan cepat maju dari sisi telekomunikasi. (ferdi rosman / D-04).


Referensi :
1. Lin Che Wei, Shangri-la Hotel, 23 July 2002, Seminar Nasional : memasuki era kompetisi dalam segmen jasa komunikasi tetap lokal.
2. Kajian Investasi dan Platform Kompetisi penyelenggaraan telekomunikasi, Agustus 2004
3. Asmiati Rasyid, Kompas, 3 Pebruari 2005, ‘Liberalisasi salah kaprah’
4. DPW-IV SEKAR TELKOM, Telepon Murah Untuk Rakyat, Juni 2005

Kode Akses SLJJ tidak memihak Rakyat

kode akses sljj selayang pandang (bag-1)
KODE AKSES SLJJ TIDAK MEMIHAK RAKYAT
oleh : Ferdi Rosman Feizal

Sebagian besar masyarakat Indonesia kembali bertanya-tanya dengan ulah karyawan-karyawan PT.TELKOM yang melakukan aksi demo.... Menuntut kenaikan Gaji...? menuntut kesejahteraan karyawan...?

Aksi-aksi demo yang dilakukan oleh sekelompok orang dari kalangan pegawai atau pekerja, buruh biasanya dilakukan untuk memperjuangkan perut atau urusan dapur ngebul, menuntut pembayaran upah, peningkatan kesejahteraan atau pembelaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sementara aksi-aksi demo yang dilakukan Serikat Karyawan PT.TELKOM Indonesia sejak Tahun 2002 yang lalu mulai dari demo karyawan Telkom di Jawa Tengah & DIY yang menentang penjualan Telkom Divisi Regional-IV Jateng & DIY kepada pihak asing dalam menjaga aset negara, menjaga sumber dana APBN baik dari setoran pajak maupun dari pendapatan deviden negara yang sahamnya mayoritas dikuasai pemerintah.


Demo SEKAR TELKOM membela Rakyat

Demikian halnya dengan aksi demo yang dilakukan Serikat Karyawan PT.TELKOM kali ini. Mereka tidak berdemo untuk menuntut kenaikan gaji, Mereka tidak berdemo untuk menuntut kesejahteraan atau untuk masalah pemutusan hubungan kerja (PHK). Serikat Karyawan PT.TELKOM melakukan aksi demo untuk membela Rakyat Indonesia, membela masyarakat Indonesia terhadap pemaksaan pembelakuan Kode Akses SLJJ oleh Badan Regulasi Telekomunikasi (BRTI) terkait dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor. KM.28 tahun 2004 yang ditandatangani oleh Agum Gumelar pada detik-detik terakhir menjelang serah terima jabatan Menteri Perhubungan kepada Hatta Rajasa dan pengalihan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi dari Departemen Perhubungan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika yang saat itu dijabat oleh Sofyan Djalil yang sekarang menjabat Meneg BUMN menggantikan Sugiarto.

Demo Sekar Telkom adalah membela Rakyat Indonesia, mengedepankan kepentingan Rakyat Indonesia dengan menuntut keadilan pada penyediaan fasilitas telekomunikasi di Indonesia untuk masyarakat di pedesaan, daerah terpencil, daerah tertinggal, pedalaman hingga daerah-daerah terluar yang berbatasan dengan negara-negara tetangga.
Kode Akses SLJJ hanya untuk Kapitalis

Kode Akses SLJJ yang didemo oleh Sekar TELKOM disebabkan karena pada kenyataannya Kode Akses SLJJ hanya ditujukan untuk kapitalis, untuk operator-operator telekomunikasi di Indonesia yang dimiliki pihak asing yang sangat berbeda dari tujuan utama kompetisi sektor telekomunikasi pada bisnis jaringan tetap jarak jauh yaitu meningkatkan kepadatan / menambah sambungan telepon di Indonesia (teledensitas) dalam rangka meningkatkan perekonomian rakyat khususnya di pedesaan yang sangat jauh tertinggal serta memperkecil kesenjangan digital (digital devide).

PT.TELKOM Indonesia sebagai BUMN yang telah lama berkecimpung dalam dunia telekomunikasi, membangun sarana-sarana telekomunikasi di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, seluruh keuntungannya diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah untuk kepentingan rakyat Indonesia dalam skema kompetisi dengan Kode Akses SLJJ ini justru dikebiri, dikecilkan kalau tidak kasar dikatakan dirampok oleh Regulator.

Dalam skema Kode Akses SLJJ, operator-operator telekomunikasi baru yang dimiliki pihak asing dengan mudahnya merampok pelanggan-pelanggan Telkom yang sudah dibangun beberapa puluh tahun silam. Pelanggan-pelanggan Telkom yang dibangun oleh PT.TELKOM yang dibiayai oleh uang-uang Rakyat melalui dana APBN sejak era PTT, PN. Telekomunikasi, PERUMTEL hingga PT.TELKOM saat ini dengan mudahnya diberikan kepada pihak asing...

Operator-operator telekomunikasi baru (new entrants) yang sebagian besar sahamnya dimiliki pihak asing (Investor luar negeri) dalam skema Kode Akses SLJJ cukup membangun Sentral Gerbang di Kota-kota besar saja tanpa membangun Jaringan Tetap Lokal (kabel) / Fixed Wire Line (FWL) sudah langsung merampok pelanggan-pelanggan telepon Telkom yang sejatinya dimiliki Rakyat Indonesia.


Pelanggan Telepon dirampok kapitalis

Sekar Telkom menolak pemberlakukan Kompetisi penyelenggaraan jaringan jarak jauh (SLJJ) dengan skema Kode Akses SLJJ ini, karena menganggap Regulator tidak adil dalam menerapkan pola kompetisi SLJJ di Indonesia.

Disamping jumlah pelanggan jaringan tetap lokal (kabel) operator baru yang tidak seimbang, skema Kode Akses SLJJ ini justru sangat berbeda dengan tujuan utama kompetisi sektor telekomunikasi yang lebih mengutamakan teledensitas.

Hanya 5 (lima) kota yang akan diberlakukan Kode Akses SLJJ dan itupun kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Denpasar, Batam dan Medan yang dalam skema Kode Akses SLJJ ini, operator baru milik pihak asing milik kapitalis hanya akan merampok pelanggan-pelanggan telepon Telkom milik masyarakat Indonesia yang dibangun dari dana-dana yang diambil dari masyarakat baik melalui pajak maupun keuntungan bisnisnya. Artinya Operator baru dalam bisnis jaringan SLJJ hanya membangun jaringan SLJJ antar 5 (lima) kota saja tanpa membangun jaringan telepon tetap (kabel) yang investasinya sangat mahal serta sudah tidak trend lagi dimasa sekarang ini.


Masyarakat Pedesaan diabaikan

kompetisi telekomunikasi sampai pedalamanDisisi lain, skema Kode Akses SLJJ ini akan mengabaikan masyarakat pedesaan. Tidak ada rencana pembukaan kode akses SLJJ di pedalaman atau di Pulau-pulau kecil terpencil seperti di perbatasan Negara, Pulau Miangas misalnya.

Selain meningkatkan angka kepadatan telepon (teledensitas), salah satu prinsip kompetisi adalah keadilan dimana seluruh rakyat Indonesia dapat merasakan manfaat dari kompetisi ini.

Dalam pola kompetisi dengan skema kode akses SLJJ masyarakat di pedesaan, daerah terpencil, daerah tertinggal, pedalaman hingga daerah-daerah terluar yang berbatasan dengan negara-negara tetangga hanya dilayani dengan program Universal Service Obligation (USO). Padahal Pemerintah sendiri sudah mengakui bahwa Proyek USO tahap-II dengan Wartel Satelit dianggap gagal, setelah voucher Wartel Satelit dengan Solar Cell habis, wartel-wartel satelit tergeletak dikolong-kolong meja menjadi barang rongsokan yang tak berguna.

Mulai tahun 2005 masyarakat di pedesaan, daerah terpencil, daerah tertinggal, pedalaman hingga daerah-daerah terluar yang berbatasan dengan negara-negara tetangga seharusnya sudah dapat menikmati telepon, Internet...dengan program ICT Pedesaan. Karena ulah pihak-pihak tertentu yang mengutamakan kepentingan kapitalis, mengobral janji investasi akhirnya masyarakat pedesaan di 40.000 Desa hingga saat ini belum mendapatkan sarana telekomunikasi minimal layanan dasar (voice) berupa telepon. Berbagai cara dilakukan, tender-tender USO digelar tak berujung...Rakyat pedesaan yang menjadi korban...terpuruk dan semakin terpuruk ditengah-tengah himpitan ekonomi yang semakin membumbung akibat kenaikan BBM, Tarif Dasar Listrik, mahalnya sembako dan ketiadaan lapangan kerja...
Pola kompetisi kerakyatan dengan membangun sarana telekomunikasi yang melibatkan rakyat pedesaan mulai dari Koperasi, pengusaha-pengusaha asli daerah, Pemerintah Daerah seperti yang diamanatkan UU Telekomunikasi Nomor. 36 Tahun 1999 sebenarnya sangat ideal dijalankan, disamping membuka komunikasi masyarakat pedesaan dari keterisoliran akibat tidak tersedianya sarana telekomunikasi serta meningkatkan taraf ekonomi masyarakat pedesaan disamping membuka lapangan kerja baru di sektor telekomunikasi.


Rakyat Menggugat

Sayangnya Rakyat Indonesia khususnya di pedesaan belum mengetahui rencana pemerintah yang sebenarnya yang seharusnya sudah menyediakan sarana telekomunikasi di pedesaan, daerah terpencil, daerah tertinggal, pedalaman hingga daerah-daerah terluar yang berbatasan dengan negara-negara tetangga.

Sarana transportasi dan kondisi cuaca yang menghambat serta ketidaktersediaan sarana telekomunikasi yang mengisolir rakyat di pedesaan, pedalaman sehingga rakyat di pedesaan tidak mengetahui hak-haknya dalam kompetisi sektor telekomunikasi.

Seandainya rakyat pedesaan mengetahui dan mengerti hak-hak kompetisi pada sektor telekomunikasi, mungkin mereka akan menggugat pemerintah, memaksa pemerintah untuk segera membangun sarana telekomunikasi di desanya. Mungkin mereka akan menggugat BRTI untuk segera mengeluarkan regulasi pembangunan sarana telekomunikasi di Pedesaan dimana investor-investor sektor telekomunikasi diarahkan untuk membangun sarana telekomunikasi di Pedesaan, di 40.000 desa. Masyarakat di 40.000 desa tidak perlu Kode Akses SLJJ yang hanya diberlakukan di 5 Kota Besar saja.

Rakyat Indonesia khususnya dipedesaan sudah lama menunggu sarana telekomunikasi tersedia di desanya. (ferdi rosman feizal, semarang, 30 oktober 2007)


Referensi :
1. UUTelekomunikasi No. UU.36 / 1999
2. Lin Che Wei, Shangri-la Hotel, 23 July 2002, Seminar Nasional : memasuki era kompetisi dalam segmen jasa komunikasi tetap lokal.
3. Keputusan Menteri Perhubungan No.28 / Tahun 2004,tentang Perubahan FTP
4. DPW-IV SEKAR TELKOM, Telepon Murah Untuk Rakyat, Juni 2005

INDONESIA KODE AKSES SLJJ MERUGIKAN RAKYAT INDONESIA

kode akses sljj selayang pandang (bagian-2)

KODE AKSES SLJJ
MERUGIKAN RAKYAT INDONESIA
Oleh : Ferdi Rosman Feizal



David Mangisong anggota TNI-AD di Pulau Miangas harus sabar menunggu hingga sore hari sampai listrik di Pulau Miangas, pulau terpencil di paling utara Sulawesi Utara yang berbatasan dengan negara tetangga Philipina menyala jika akan melakukan panggilan telepon ke Manado. Dan itupun dilakukan di Wartel yang hanya satu-satunya di Pulau Miangas dengan antrian panjang menjelang Wartel VSAT milik Apitalau Miangas beroperasi pada jam 17.30 WITA sesuai jam beroperasinya PLN di Pulau Miangas.

Sementara Serka Parson Luppa dan Serka Binambuni anggota TNI-AD lain yang bertugas menjaga perbatasan Negara di pulau Miangas setiap 2 jam sekali harus berteriak-teriak di ruang SSB untuk melaporkan kondisi dan situasi keamanan di Pulau perbatasan Negara kepada Kodim Tahuna dan Korem 131 / Santiago di Manado yang selanjutnya dilaporkan langsung kepada Pangdam VII/Wirabuana di Makassar.

70 mil laut dari Pulau Miangas tepatnya pulau Karatung ibukota kecamatan Nanusa, setiap sore terlihat antrian panjang masyarakat di Wartel vsat yang terletak di rumah Syahbandar Karatung, sementara wartel satelit yang tak jauh dari wartel vsat sepi, tidak terlihat antrian। Hal ini disebabkan karena mahalnya biaya pemakaian telepon jika menggunakan wartel satelit dari PSN-byru.

Sementara masyarakat di Pulau Kawio di tenggara pulau Marore yang merupakan pulau terluar lainnya yang berbatasan dengan negara tetangga Philipina harus bersusah payah menggunakan perahu menuju pulau Kawaluso hanya untuk bertelepon di wartel satelit dengan catuan solar cell yang berada di rumah kepala kampung pulau Kawaluso (Kapitalau) karena di pulaunya yang kecil belum tersedia satupun fasilitas telekomunikasi dan sarana listrik


Itulah sekilas gambaran kondisi masyarakat pedesaan di pulau-pulau kecil yang belum mendapatkan fasilitas telepon dan keterbatasan energi listrik yang umumnya hanya beroperasi sekitar 8 jam.

Kondisi ini mungkin tidak akan terjadi jika Pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika c.q. Dirjen Pos dan Telekomunikasi (Postel) melalui Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) membuka lisensi-lisensi baru penyelenggara jaringan tetap lokal sesuai amanah UU 36/1999 tentang telekomunikasi yang melibatkan masyarakat, koperasi dan Pemerintah Daerah dalam era kompetisi sektor telekomunikasi di Indonesia.


Kode Akses SLJJ

Kode Akses SLJJ yang menjadi berita hangat dalam minggu-minggu ini di media cetak dan on-line di Indonesia merupakan pemaksaan pola kompetisi sektor telekomunikasi pada bisnis penyelenggaraan jaringan tetap jarak jauh (SLJJ) / interlokal di Indonesia.

Pada skema kode akses SLJJ, pelanggan atau konsumen telepon jaringan tetap (kabel) diberikan kebebasan penuh untuk memilih penyelenggara jaringan tetap jarak jauh baik itu jaringan tetap jarak jauh Telkom dengan kode akses SLJJ 017 atau memilih jaringan tetap jarak jauh Indosat dengan kode akses SLJJ 011 dalam melakukan panggilan jarak jauh (SLJJ) / interlokal. Untuk memilih jaringan tetap jarak jauh penyelenggara lainnya yang akan ditenderkan akhir tahun 2007 ini, pelanggan mendial 01x-021659xxxx.

Di Rumah atau di Kantor, pelanggan telepon bisa memilih jaringan SLJJ Telkom untuk menghubungi relasinya di Jakarta dengan mendial 017-21659xxxx dengan tarif Rp. x,- atau memilih jaringan SLJJ Indosat dengan mendial 011-21659xxxx dengan tarif Rp. y,-

Hal inilah yang memicu Serikat Karyawan (SEKAR) Telkom melakukan Apel kesetian Sekar Telkom kepada Telkom Indonesia dengan penolakan pemaksaan pemberlakukan Kode Akses SLJJ oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) karena dianggap tidak fair.

Tidak fair, karena jumlah pelanggan yang tidak seimbang, pelanggan telepon Telkom yang sudah dibangun selama 62 tahun lamanya dari uang rakyat melalui pemerintah baik dari setoran pajak maupun dari keuntungan bisnisnya sepertinya langsung dirampok, diserahkan dengan mulus kepada kompetitornya, sementara kompetitor atau penyelenggara baru pada bisnis ini belum memiliki pelanggan jaringan telepon tetap (kabel), kalaupun ada masih bisa dihitung dengan jari dibanding Telkom yang sudah membangun dan memiliki pelanggan sebanyak 8,5 juta atau telah memberikan kontribusi kepada Negara sebesar 3,5% teledensitas di Indonesia.

Tidak fair, karena pelanggan telepon Telkom begitu saja diserahkan kepada operator lain. Ibarat Isteri yang boleh dipakai bersama...Telkom kehilangan basis pelanggan...

Tidak fair, karena penyelenggara baru cukup membangun Sentral Gerbang SLJJ (Gateway) tanpa diwajibkan untuk membangun jaringan pelanggan untuk meningkatkan angka teledensitas dalam mendukung kemajuan Bangsa dan Negara, meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta memperkecil kesenjangan digital.

Tidak fair, karena tarif telepon Telkom diatur pemerintah sementara tarif telepon operator lain selain Telkom tidak diatur dan jika Telkom akan menurunkan tarif karena ketatnya persaingan misalnya, Telkom dijerat dengan KM.33/2004 tentang persaingan usaha tidak sehat. Telkom diibaratkan disuruh bertinju tapi kaki dan tangannya diikat...

Tidak Nasionalis, karena ternyata skema Kode Akses SLJJ ini hanya mementingkan penyelenggara-penyelenggara telekomunikasi baru yang notabene kepemilikan sahamnya mayoritas dimiliki pihak asing yang akan menggondol rupiah sebagai cadangan devisa negara ke luar negeri.


Kode Akses SLJJ hanya di 5 Kota besar

Kompetisi sektor telekomunikasi pada penyelenggaraan jaringan tetap lokal dan jaringan tetap jarak jauh (SLJJ) dengan skema Kode Akses SLJJ yang dipaksakan oleh BRTI hanya diberlakukan di 5 (lima) Kota Besar saja seperti di Jakarta, Surabaya, Denpasar, Batam dan Medan tidak menyentuh masyarakat di pedesaan yang sudah lama menunggu kehadiran fasilitas telekomunikasi, minimal layanan telekomunikasi dasar (voice) berupa telepon kabel.

Tujuan utama dibukanya kompetisi sektor telekomunikasi di Indonesia berdasarkan buku kajian Bappenas adalah meningkatkan kepadatan telepon (teledensitas). Dalam skema Kode Akses SLJJ tidak terlihat adanya maksud dan tujuan untuk meningkatkan teledensitas dengan membangun fasilitas telekomunikasi, menambah jumlah Pelanggan. Masyarakat di 5 Kota Besar di Indonesia tersebut tidak begitu memerlukan lagi fasilitas jaringan telepon tetap (kabel), mereka sudah terbiasa menggunakan telepon seluler / hand phone yang lebih flexible dan trendy.


Menguntungkan konsumen, merugikan Rakyat

Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar mengatakan kompetisi sektor telekomunikasi pada penyelenggaraan jaringan tetap jarak jauh (SLJJ) dengan skema Kode Akses SLJJ akan menguntungkan konsumen, karena secara alamiah akan menurunkan tarif SLJJ / interlokal seiring dengan ketatnya persaingan pada bisnis ini, sehingga tarif telepon makin lama akan semakin murah.

Turunnya tarif SLJJ atau Interlokal ini akan menguntungkan Konsumen baik itu pelanggan telepon Telkom maupun pengguna Wartel seperti yang selalu dikatakan Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar yang mempunyai basic pendidikan Teknik Sipil tapi disuruh mengurusi telekomunikasi.

Dilihat dari jumlah pelanggan telepon Telkom sebanyak 8,5 juta atau berarti konsumen jaringan telepon tetap sebesar 3,54 % dari total penduduk Indonesia sebanyak 240 juta, dengan asumsi konsumen wartel sebanyak 1,5 juta maka konsumen yang akan mendapatkan keuntungan hanya sekitar 4,17 % dari total penduduk Indonesia. Dengan kata lain 93,83 % penduduk Indonesia atau sebanyak 230 Juta Orang tidak merasakan manfaat kompetisi sektor telekomunikasi yang mengutamakan teledensitas, 230 Juta penduduk Indonesia tidak memperoleh hak untuk mendapatkan fasilitas telekomunikasi sesuai dengan prinsip-prinsip kompetisi pada jaringan telepon tetap.

Hal ini akan merugikan Rakyat Indonesia secara keseluruhan, masih banyak daerah pedesaan yang belum terjangkau fasilitas telekomunikasi yang menunggu kehadiran fasilitas telekomunikasi di daerahnya.


Dirjen Postel membodohi Rakyat Indonesia ...

Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar yang keukeuh pada pendapatnya bahwa pola kompetisi sektor telekomunikasi dengan skema kode akses SLJJ akan menguntungkan konsumen dengan harapan tarif telepon akan murah. Pernyataan Basuki Yusuf Iskandar ini sebenarnya membodohi masyarakat, membodohi rakyat indonesia. Mudah-mudahan pemimpin tertinggi Rakyat Indonesia tidak termasuk yang dibodohi termasuk wakil-wakil Rakyat yang duduk empuk di kursi DPR tidak ikut juga dibodohi oleh Dirjen Postelnya.

a. Hak Konsumen
Tujuan diberlakukannya kompetisi pada sektor telekomunikasi dengan diberikannya hak duopoli atau multi operator pada masa yang akan datang adalah memberikan hak sepenuhnya kepada pelanggan sebagai konsumen:
Hak untuk mendapatkan Harga yang terjangkau.
Hak untuk mendapatkan Akses yang mudah.
Hak untuk mendapatkan Pilihan yang sesuai dengan karakteristik dan selera
Hak untuk mendapatkan kualitas yang baik
Hak untuk mendapatkan Keadilan (Fairness)
(Lin Che Wei, Shangri-la Hotel, 23 July 2002 : Memasuki era kompetisi dalam segmen jasa komunikasi tetap lokal)


b. Hanya sebagian Hak Konsumen
Skema kode akses SLJJ hanya memenuhi 2(dua) hak pelanggan telepon telkom sebagai konsumen yaitu hak mendapatkan pilihan yang sesuai dengan karakteristik dan selera dan hak mendapatkan harga yang terjangkau.

c. Akses yang mudah tidak dipenuhi
Hak mendapatkan akses yang mudah tidak bisa dipenuhi, malahan kemungkinan justru akan hancur seiring dengan dibukanya kode akses ini yang diakibatkan jaringan tetap SLJJ terbatas dan rumit serta lamanya proses routing akibat adanya penambahan digit yang harus didial pelanggan.

d. Kualitas tidak bisa dipilih
Pelanggan selaku konsumen tidak bisa memilih kualitas yang lebih dari Telkom, dengan skema kode akses SLJJ ini jaringan pelanggan tetap ditarik dari jaringan milik PT.Telkom, sentralnya dari sentral telepon Telkom, pelayanan gangguan tetap dilayani Telkom. Berbeda dengan kompetisi telekomunikasi yang tidak diatur pemerintah / BRTI (unregulated) seperti pada bisnis jaringan seluler, pelanggan bebas sebebasnya menentukan pilihan mulai dari memilih handset, harga yang terjangkau, akses yang mudah, kualitas yang lebih baik. Semua diserahkan kepada Pelanggan, semua dilempar ke pasar bebas.

Pada kompetisi seluler yang dilempar ke pasar tanpa campur tangan pemerintah (BRTI), masyarakatlah yang diuntungkan, harga handset jadi bisa murah, voucher pulsa tambah murah dengan iming-iming bonus dll bisa diperoleh akibat ketatnya kompetisi pada bisnis jaringan seluler yang justru tidak diatur oleh pemerintah (BRTI).

e. Rakyat tidak mendapatkan Hak Keadilan
Dengan skema kode akses SLJJ ini, rakyat Indonesia yang tersebar di pedesaan, di daerah terpencil, di pulau-pulau kecil dan pedalaman tidak mendapatkan hak keadilan, tidak mendapatkan fasilitas yang sama dengan seperti mereka-mereka yang berada di daerah perkotaan.

Tujuan utama diberlakukannya kompetisi pada sektor telekomunikasi adalah meningkatkan teledensitas dimana kompetisi sektor telekomunikasi diarahkan untuk membangun fasilitas telekomunikasi. Kehadiran operator-operator baru pada sektor telekomunikasi diharapkan membantu pemerintah dalam membangun fasilitas telekomunikasi dalam rangka meningkatkan teledensitas untuk meningkatkan ekonomi rakyat di pedesaan dan untuk memajukan masyarakat pedesaan yang selama ini terpuruk dan terisolasi akibat ketidaktersediaan fasilitas telekomunikasi di desanya.

Rakyat telah dibodohi, dibohongi oleh BRTI termasuk Pemimpin Rakyat tertinggi di negeri ini serta wakil-wakil rakyat yang ada di DPR-RI. Skema Kode Akses SLJJ dengan alasan anti monopoli dan tarif telepon murah berkedok peningkatan teledensitas sejatinya membodohi dan membohongi Rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia yang berada di 40.000 desa yang belum mendapatkan fasilitas telekomunikasi sedang menunggu kehadiran fasilitas telekomunikasi di desanya.


Lisensi Lokal lebih diutamakan

Sesuai amanah Undang-undang Telekomunikasi (UU 36 Tahun 1999), sangatlah bijaksana jika pemerintah lebih mengutamakan lisensi operator jaringan tetap lokal yang melibatkan pengusaha swasta Nasional dan daerah serta Pemda dan koperasi. Dengan diberikannya lisensi-lisensi operator lokal, mereka akan membangun jaringan tetap lokal di daerah-daerah termasuk perkotaan yang profitable.
Pengusaha swasta nasional yang akan membangun jaringan tetap lokal di daerah-daerah bisa melakukan interkoneksi untuk panggilan jarak jauh (domestik) maupun Internasional dengan penyelenggara jaringan tetap jarak jauh / SLI yang sudah memiliki lisensi SLJJ / SLI seperti Telkom, Indosat misalnya.

Dalam perkembangannya pengusaha swasta nasional bisa diberikan lisensi SLJJ jika telah memenuhi syarat tertentu baik ditinjau dari sudut besarnya kapasitas yang sudah dibangun atau dari banyaknya daerah yang sudah dibangun, sehingga pendapatan SLJJnya bisa dikantungi sendiri.

Berbeda dengan pengusaha swasta nasional, pengusaha swasta daerah dan koperasi tetap bertengger pada bisnis jaringan tetap lokalnya dan terus mengembangkan fitur-fiturnya serta value added servicesnya seiring dengan perkembangan bisnis konten pada jaringan tetap lokal.

Hal tersebut akan memicu perkembangan teledensitas disamping penyediaan lapangan kerja baru pada industri telekomunikasi.



Kompetisi Kerakyatan

Model kompetisi tersebut diatas merupakan Kompetisi telekomunikasi kerakyatan, kompetisi yang mengutamakan rakyat dengan melibatkan Rakyat Indonesia mulai dari Perkotaan hingga peloksok pedesaan.

Dengan model kompetisi kerakyatan, teledensitas akan berkembang sangat pesat dalam waktu singkat 40.000 desa yang belum terjangkau fasilitas telekomunikasi akan langsung merasakan kehadiran teknologi telekomunikasi, kesenjangan digital dapat diperkecil dan ICT Pedesaan langsung dapat direalisasikan.


Referensi :
1. Lin Che Wei, Shangri-la Hotel, 23 July 2002, Seminar Nasional : memasuki era kompetisi dalam segmen jasa komunikasi tetap lokal.
2. Kajian Investasi dan Platform Kompetisi penyelenggaraan telekomunikasi, Agustus 2004
3. Asmiati Rasyid, Kompas, 3 Pebruari 2005, ‘Liberalisasi salah kaprah’
4. DPW-IV SEKAR TELKOM, Telepon Murah Untuk Rakyat, Juni 2005
5. Asmiati Rasyid, Invetor daily, 30 Oktober 2007, batalkan kebijakan Kode Akses

Thursday, March 22, 2007